Pro Kontra Putusan MK tentang Pilkada

TEMPO mengunggah berita tentang palu MK yang mengubah syarat calon di Pilkada. Mahkamah Konstitusi mengubah syarat ambang batas pencalonan kepala daerah. Partai atau gabungan partai politik tak lagi harus mengumpulkan 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25 persen suara sah untuk mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Ambang batas berada di rentang 6,5-10 persen, bergantung pada jumlah daftar pemilih tetap.

Jokowi saat berpidato di penutupan acara Munas XI Partai Golkar, Rabu, 21 Agustus 2024 mengaku mengamati tren yang berkembang di media sosial. Salah satunya, ihwal putusan MK tentang ketentuan Pilkada. Ia menyebut putusan itu sebagai wilayah yudikatif yang kemudian dirapatkan DPR selaku legislatif. 

Jokowi kemudian mengatakan bahwa sebagai presiden yang berada di lembaga eksekutif, dirinya menghormati lembaga yudikatif dan lembaga legislatif. Karena itu, ia menghormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara tersebut. "Mari kita hormati keputusan, beri kepercayaan bagi pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan proses secara konstitusional," kata Jokowi.

Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 MK menyebut partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah walaupun tidak memiliki kursi di DPRD. MK memutuskan ambang batas Pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah.

MK juga memutus Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian syarat batas usia calon kepala daerah yang diatur Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada. MK menolak permohonan dari dua mahasiswa, Fahrur Rozi dan Anthony Lee, yang meminta MK mengembalikan tafsir syarat usia calon kepala daerah sebelum adanya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024. Adapun putusan MA yang dikeluarkan pada 29 Mei 2024 itu mengubah syarat usia calon kepala daerah saat penetapan calon oleh KPU menjadi saat pelantikan calon terpilih.

Akbar Faizal menulis, “Yth Pimpinan dan terkhusus Baleg @DPR RI, kami dengar kalian sdg inisiasi keputusan politik melawan putusan MK No.60 ttg trenshold Pilkada. Jika itu benar, sy minta segera hentikan. Buka jendela kantor kalian & lihat rasa gusar rakyat makin memuncak. Jgn menantang kesabaran kami.”

Puluhan mantan anggota penyelenggara pemilu mendesak agar KPU melaksanakan dua putusan MK mengenai UU Pemilihan Kepala Daerah. Mereka menilai, tak ada alasan bagi KPU untuk tidak melaksanakan kedua putusan MK mengenai uji materi Pasal 7 ayat 2 huruf e dan Pasal 40 Undang-Undang Pilkada.

Jimly Ashiddiqie mengatakan kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi dalam sistem hukum nasional setara dengan undang-undang untuk dilaksanakan. “KPU sebagai pelaksana hukum wajib melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat,” kata Jimly, Rabu, 21 Agustus 2024. 

Pelaksanaan putusan MK untuk menjamin dan melindungi hak kostitusional partai politik peserta Pemilu 2024 dalam mengusung pasangan calon kepala daerah di Pilkada Serentak 2024, dan untuk mewujudkan pilkada yang demokratis dan adil. KPU agar segera menerbitkan revisi Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Namun, Panitia Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR menyiasati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut saat pembahasan perubahan keempat Undang-Undang Pilkada, Rabu, kemarin. Dalam perubahan Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada, Baleg merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.

Selanjutnya, rumusan Baleg terhadap Pasal 40 UU Pilkada adalah mengatur ambang batas pencalonan sebesar 6,5 sampai 10 persen suara sah hanya berlaku bagi partai politik non-kursi di DPRD. Sedangkan ambang batas pencalonan bagi partai politik pemilik kursi di DPRD adalah sebesar 20 persen dari jumlah kursi di Dewan atau 25 persen dari perolehan suara sah.

Hadar Nafis Gumay mengatakan Bawaslu seharusnya melaksanakan fungsi checks and balances untuk memastikan KPU melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Ia mengatakan, jika KPU dan Bawaslu tidak melaksanakan tugas dan wewenang yang diperintahkan oleh undang-undang, DKPP sepatutnya memberikan sanksi maksimal atas tindakan penyelenggara pemilu yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu demokratis. 

KPU juga harus memastikan bahwa semua calon kepala daerah dan wakil kepala daerah memenuhi syarat usia terhitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU. Sebagai lembaga yang dijamin konstitusi, KPU mempunyai tanggung jawab konstitusional untuk menyelenggarakan pilkada yang adil dan berintegritas. 

Menurut Bivitri Susanti, MK merupakan penafsir utama konstitusi. Hal yang ditafsirkan MK menjadi pedoman semua Lembaga dalam menjalankan konstitusi. Jadi, kalua ada yang ingin menganulir putusan MK, artinya melanggar konstitusi.

Saiful Mujani menulis, menurut hukum tertinggi di negeri ini, UUD 1945 Pasal 24C, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat… dan Mahkamah Konstitusi dapat membubarkan partai politik… apakah partai politik yang melawan keputusan MK sama dengan partai yang melawan UUD 1945 dan karena itu dapat dibubarkan?

“Jika engkau tidak cemas dengan keadaan Negara sekarang ini, berarti otakmu tidak normal.” (Cak Nun).

Prof. Muhammad Chirzin