
Oleh: Rizka Yuanita
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Paramadina)
Diberi hutan yang rimbun untuk menahan longsor, malah ditebang. Negara selalu membanggakan diri sebagai “raja komoditas”, seolah-olah kekayaan alam adalah rekening tabungan tanpa batas. Indonesia selalu membanggakan diri sebagai negeri kaya sumber daya alam, seolah tanah dan hutan adalah mesin uang yang tak pernah berhenti bekerja.
Pada November 2025, sektor tambang sudah mengantongi Rp 114 triliun. Di sisi lain, ekspor kelapa sawit hanya dalam lima bulan pertama sudah mencapai USD 8,90 miliar, atau sekitar Rp 144,2 triliun.Namun angka-angka itu tidak pantas dibanggakan karena banjir bandang dan tanah longsor yang menenggelamkan Sumatera pada 24–29 November 2025 semestinya menjadi tamparan keras bagi bangsa ini.
Berdasarkan data BNPB terupdate 2025 sebanyak sebanyak 509 orang masih belum diketahui keberadaannya alias masih hilang, lalu sekitar 2.700 orang mengalami luka-luka. Adapun jumlah warga terdampak mencapai 1,5 juta jiwa, dan 817.000 warga masih mengungsi. Tidak sekadar angka, ini adalah biaya yang harus dibayar karena kita serakah, lalu bersikap seolah-olah alam adalah gudang tak berujung.
Alih-alih bergegas menarik empati, banyak pejabat memanfaatkan momen ini melalui akun media sosialnya masing-masing. Bahkan, pemerintah seolah malah menunjuk langit sebagai kambing hitam. Semua serentak menyebut siklon tropis, curah hujan ekstrem, hingga “takdir cuaca” sebagai pemicu. Seolah-olah bencana ini jatuh dari tanpa peringatan.
Kerugian ekonominya? Bappenas (2025) memperkirakan 28 triliun rupiah hilang hanya dari banjir dan longsor lima tahun terakhir. Kita menebang hutan demi keuntungan jangka pendek, lalu membayar 15 kali lipat untuk memperbaiki kekacauannya. Mungkin inilah definisi ekonomi versi negara: rugi dulu, rugi lagi, rugi terus, tetapi tetap merasa sukses.
Faktanya: ini bukan murka alam, melainkan murka dari hutan yang kita habisi. Dan setiap pohon yang ditebang adalah perhitungan waktu menuju tragedi.
Mekanisme Ekologis: Ketika Hutan Hilang, Tanah Menjadi Tuli
Hutan hujan tropis bukan sekadar kumpulan pohon, ia adalah mesin raksasa yang bekerja 24 jam menjaga keseimbangan air. Kanopi hutan menahan hingga 45 persen curah hujan sebelum menjatuhkannya secara perlahan. Namun ketika kanopi itu ditebang, hujan jatuh seperti palu godam menghantam permukaan tanah yang sudah dipadatkan alat berat. Tanah yang seharusnya menjadi spons, kini berubah menjadi genteng licin. Runoff melesat naik hingga 900 persen.
Akar pohon hutan mampu menembus lebih dari 10 meter ke dalam tanah, membentuk jaringan makropori yang menjadi pipa alami air. Tetapi sawit tua, yang dijadikan pengganti hutan, hanya berakar sekitar 1,5 meter. Tanah menjadi hampa, rapuh, dan mudah tergelincir.
Ketika hujan deras tiba, tanah yang tidak lagi punya penyangga pun menyerah. BRIN mencatat bahwa dalam 72 jam setelah longsor, sekitar 14 juta ton sedimen meluncur ke sungai di Sumatera. Itu setara 70 tahun erosi alami. Kita seperti menumpahkan isi gunung ke sungai dalam tiga hari, lalu bertanya-tanya mengapa air meluap.
Jawabannya sederhana, karena kita menghancurkan sistem yang selama ribuan tahun menjaga agar air tetap bersahabat.
Krisis Komunikasi: Bencana Ekologi yang Dikawal dengan Bencana Retorika
Sayangnya, kerusakan ekologis hanya separuh masalah. Separuh lainnya adalah bagaimana bencana ini dikomunikasikan. Dalam teori SCCT (Coombs, 2019), organisasi yang berkontribusi terhadap krisis harus mengambil strategi rebuild: mengakui, memperbaiki, dan bertanggung jawab. Tetapi perusahaan-perusahaan besar dan sebagian pejabat tampaknya lebih akrab dengan strategi lain: menyangkal, menutupi, dan menyalahkan pihak lain.
Beberapa analisa pada 2025 menunjukkan bahwa 68 persen rilis pers perusahaan sawit menggunakan strategi “serang balik”, menuduh aktivis sebagai penyebar hoaks, atau menyalahkan cuaca. Kalimat-kalimat yang dipilih cenderung mengalihkan fokus dari deforestasi. Jargon-jargon seperti force majeure dan “curah hujan di luar perkiraan” tiba-tiba menjadi lagu wajib.
Pemerintah daerah pun tak berbeda jauh. Dalam 81 persen konferensi pers, mereka menyebut bencana ini sebagai “bencana alam murni”. Rasanya kalimat itu sudah menjadi mantera yang memaafkan semua kelalaian.
Padahal WHO (2021) sudah sangat jelas, transparansi pada tahap awal krisis mengurangi ketidakpercayaan publik hingga 64 persen. Tetapi tampaknya transparansi dianggap terlalu mahal, sedangkan penyangkalan terasa lebih murah.
Kita hidup pada masa di mana air bah tidak hanya merendam rumah, tetapi juga merendam akal sehat.
Jika kita ingin menghentikan siklus bencana seperti ini, langkah pertama adalah mengakui sumber masalahnya. Tidak ada gunanya menambal atap ketika fondasi rumahnya sudah lapuk.
Moratorium berbasis sains harus diterapkan pada wilayah yang tutupan hutannya tinggal di bawah 40 persen. Angka ini bukan karangan aktivis, tetapi rekomendasi IPCC. Di bawah angka itu, lanskap sudah kehilangan kemampuan alaminya untuk menahan air.
Restorasi hidrologi harus dilakukan secara serius. Penanaman bibit pohon untuk kebutuhan foto tidak akan memulihkan apa pun selain citra pejabat. Forest and Landscape Restoration /FLR telah memberi panduan jelas, tutupan kanopi 30 persen dalam 10 tahun, dengan spesies lokal, dan pemulihan fungsi ekosistem sebagai prioritas.
Penegakan hukum harus beranjak dari pola lama. Menghukum pekerja lapangan tetapi membiarkan direksi duduk nyaman di ruang AC hanyalah drama legal tanpa hasil. Prinsip piercing the corporate veil memberi kesempatan untuk menjerat mereka yang benar-benar memegang kendali.
Dan akhirnya, teknologi satelit seperti Nusantara Atlas sudah cukup canggih untuk mendeteksi deforestasi 0,1 hektar dalam dua hari. Tetapi teknologi tidak berguna jika negara memilih memejamkan mata.
Bencana Sumatera 2025 adalah cermin yang memaksa kita menatap wajah sendiri, wajah yang serakah, abai, dan pandai mencari alasan. Kita memakan hutan dengan rakus, lalu terkejut ketika hutan memuntahkan kembali bencana.
Sains sudah berbicara dengan angka. Ekologi sudah memperingatkan dengan longsor dan banjir. Masyarakat sudah membayar dengan nyawa.
Pertanyaannya kini bukan lagi “apa penyebabnya?” karena jawabannya terlalu jelas. Pertanyaannya adalah: apakah kita berani berhenti serakah sebelum seluruh pulau ini benar-benar memakan kita bulat-bulat?
Info Detak.co | Jumat, 12 Desember 2025 
