Selamat Datang Politik Kebhinekaan

Sebuah idiom baru dilontarkan oleh Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh saat menyampaikan pidato politik di acara deklarasi pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskadar sebagai calon presiden dan wakil presiden 2024 pada 2 September 2023. Sebuah idiom yang merepresentasikan pikiran dan sikap politiknya, utamanya menjelang perhelatan pesta demokrasi 2024: politik kebhinekaan.

Sebelumnya, pada perhelatan Rakernas Partai NasDem pada Juni tahun lalu, beliau juga melontarkan idiom tentang praktik yang semestinya dibangun dalam kehidupan politik kita, yakni politik yang penuh kegembiraan. Idiom ini merujuk pada adanya kekuatan tertentu yang membuat kehidupan politik nasional dibayang-bayangi oleh teror dan ancaman: sebuah kenyataan yang patut disayangkan karena ia membuat kehidupan politik kita menjadi kubangan paranoid. Karena itulah Surya Paloh menggaungkan ajakan agar menjelang 2024, politik dipenuhi kegembiraan karena, toh, pemilu sering disebut sebagai pesta demokrasi.

Adapun pada idiom politik kebhinekaan, marilah kita coba periksa apa yang melatarinya atau dasar-dasar pemikiran seperti apa yang ada dalam diri beliau sehingga di acara yang digelar di hotel Majapahit, hotel bersejarah yang dulu bernama Yamato di Surabaya itu, idiom itu dilontarkan.

Kesadaran dan kedewasaan
Sebagaimana kita tahu, dua pilpres dan satu pilgub (DKI) terakhir telah menyisakan semacam trauma nasional bagi bangsa ini. Perbedaan pilihan dan dukungan terhadap capres atau calon gubernur menjadi pertentangan yang bahkan lebih dari sekadar ideologis. Pertentangan akibat perbedaan atas pilihan dalam pilpres dan pilgub itu berujung pada pertentangan emosional hingga pecahnya persaudaraan. Kenyataan ini benar-benar menjadi trauma hingga banyak pihak mewanti-mewanti dan berharap agar hawa Pilpres 2019 tidak terulang pada Pilpres 2024 mendatang.

Selain kelam dan menyesakkan, kenyataan tersebut juga jauh dari konstruktif bagi kehidupan bangsa kita. Politik pun tidak menjadi ruang atau wahana mencerdaskan kehidupan bangsa melainkan ajang mengadu sesama anak bangsa. Alam kesadaran yang terbangun ketika itu adalah semacam to be or not to be. Seolah jika tak berkuasa maka selesai sudah kehidupan ini. Seolah jika tak berkuasa, akan hancur seluruh cita-cita dan masa depan seseorang atau suatu kelompok.

Alam pikir semacam ini tidak memahami benar tentang kehidupan politik di alam demokrasi. Alam pikir seperti ini dialasi oleh cara berpikir biner dan simplistis. Jika tidak A maka B, atau jika C makan akan D. Padahal, salah satu kelebihan sistem demokrasi adalah adanya ruang koreksi. Adanya ruang ini memberikan berbagai macam kemungkinkan dalam kehidupan bernegara sehingga cara berpikir fatalis semestinya tereliminir. Sebagai contoh kecil, Pak Prabowo yang notabene contender dari Pak Jokowi di pilpres yang lalu malah kemudian menjadi Menteri Pertahanan.

Namun demikian, praktik semacam itu kurang ideal adanya. Selain itu, kenyataan ini juga menyisakan sejumlah tanya bagi khalayak umum. Alih-alih kesadaran yang lahir di benak khalayak, justru dendam kesumat yang menjadi laten di dalam diri para pendukungnya. Karena itu dibutuhkan berbagai simulasi dalam upaya membangun sebuah sikap dan praktik berpolitik yang menjadi antitesis dari praktik politik sebagaimana dijelaskan di atas. Dan inilah yang dilakukan oleh Surya Paloh.

Beliau melakukan hal ini tidak hanya menjelang pesta demokrasi 2024 mendatang. Jauh sebelum itu, dipimpin oleh Ketua Umumnya langsung, Partai NasDem beranjangsana ke kantor DPP PKS pada Oktober 2019 silam. Pada Pilpres 2014 dan 2019 atau Pilgub DKI 2017, NasDem dan PKS tidak beriring bersama dalam satu koalisi. NasDem berada di dalam koalisi pemerintahan namun PKS memilih berada di luar. Keduanya juga memiliki garis politik dan ideologi yang relatif berbeda. Toh, keduanya bisa bertemu menjalin komunikasi dan membangun kesepahaman. Dan itu tidak didasarkan pada sesuatu yang sering disebut sebagai “bagi-bagi kekuasaan”. Keduanya bertemu sebagai entitas politik yang memiliki kesadaran dan kedewasaan lebih untuk menunjukkan sesuatu yang baru dan maju bagi kesadaran publik secara luas. Inilah sesungguhnya praktik atau wujud dari politik kebhinekaan itu.

Menyambut politik kebhinekaan
Politik kebhinekaan adalah politik yang didasarkan pada kenyataan sosial-politik kita yang beragam dan tidak biner. Konsekuensi dari kenyataan ini adalah tidak bisanya kita berjalan atau melangkah sendiri. Dibutuhkan kerja sama politik dengan beragam kelompok kepentingan yang ada.

Lewat idiom politik kebhinekaan itu Surya Paloh ingin menyampaikan bahwa politik yang penuh warna dibutuhkan oleh bangsa ini. Warna yang bukan hanya beragam pilihannya melainkan juga spektrum ideologinya. Pada tataran yang lebih luas, politik kebhinekaan mengajak semua pihak untuk menyediakan diri mendengarkan pihak lain. Karena, jangan-jangan, berbagai pertentangan sosial yang banyak terjadi disebabkan sikap apriori kita terhadap pihak lain. Dan itu disebabkan karena ketidaktahuan kita akan alam pikir pihak lain. Pepatah mengatakan, “tak kenal maka tak sayang.”

Politik kebhinekaan adalah sebuah seruan kepada semua pihak bahwa politik selalu dinamis dan rasional. Oleh karena itu tidak perlu fanatik terhadap pilihan tertentu. Maknai pemilu sebagai sebenar-benar pesta yang di dalamnya penuh kegembiraan. Di tengah kegembiraan, perbedaan tidak akan menjadi bahan pertentangan apalagi permusuhan. Sebaliknya, di dalam kegembiraan, perbedaan akan menjadi sumber kemeriahan dan suka cita bersama.

Oleh karena itu, politik kebhinekaan bisa kita lihat sebagai itikad sekaligus ikhtiar agar warna, corak, dan praktik politik menjelang perhelatan 2024 dihiasi oleh kedewasaan sikap yang tidak hanya berasal dari para elitnya melainkan juga para simpatisannya. Hal ini penting mengingat politik harus senantiasa berada di level yang rasional, bukan emosional. Sebab politik adalah wahana di mana berbagai gagasan tentang bentuk dan upaya membangun kebaikan bersama dalam suatu komunitas sosial, terselenggara. Karena itu, sekali saja politik ditempatkan di level emosional, petaka taruhannya. Kalapnya para pendukung Donald Trump yang tidak menerima kekalahan atas Joe Biden pada 2020 lalu atau insiden pasca-Pilpres 2019 yang harus menelan korban adalah gambaran ketika politik dikemas secara emosional.

Politik kebhinekaan adalah juga sebuah langkah tak terduga yang membuat banyak pihak kaget tak mengira. Ia serupa langkah kuda yang mengunci sekaligus membuat bidak lainnya harus mengambil langkah yang cermat dan tak boleh gegabah. Keberadaan NasDem yang nasionalis, PKB yang tradisionalis, dan PKS yang cenderung islamis dan modernis dalam satu barisan yang mengusung Anies-Muhaimin (Amin) membuat konfigurasi politik menjelang Pilpres 2024 menjadi cukup plural. Hampir dipastikan bahwa akan ada lebih dari dua pasangan calon pada Pilpres 2024 nanti.

Kenyataan ini juga membuat isu cebong-kampret menjadi tidak relevan dan tereliminir. Maka tidak berlebihan jika Pak Surya kemudian mengucapkan selamat tinggal kepada politik cebong-kampret yang disebut sebagai praktik, “politik yang memang mengadu domba, memecah belah dan merusak semua sistem nilai kebangsaan kita.”

Anies yang sedari awal diserang dengan label dan stigma sebagai pengusung politik identitas, serta merta gugur setelah berpasangan dengan Gus Imin. Demikian juga PKS yang selalu dicap tidak akan pernah bisa berkolaborasi dengan PKB, ternyata bisa dengan cukup hangat saling menerima. Bahkan, dalam kunjungan pada 12 September kemarin, lagu Syubbanul Wathan bisa berkumandang di kantor DPP PKS – sebuah kejadian langka yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Anies Baswedan HMI, Gus Imin PMII. Anies lahir di Jawa Barat, Muhaimin di Jawa Timur. Anies berasal dari keluarga Muhammadiyah, Muhaimin dari keluarga besar NU. Anies seorang intelektual, konseptor, dan penuh gagasan; Muhaimin seorang organisatoris dan eksekutor. Anies identik dengan kampus, Muhaimin identik dengan dunia pesantren. Berbeda namun keduanya bisa menjadi pasangan yang saling menopang dan melengkapi satu sama lain.

Inilah buah dari sikap, langkah, dan praktik yang didasarkan pada laku kebajikan (virtue) dalam kehidupan politik. Secara aktual, politik mungkin akan dipandang selalu kotor dan penuh dengan berbagai intrik dan siasat di dalamnya. Namun demikian, di dalam segala kenyataan itu ada laku-laku yang selalu bisa kita apresiasi dari para pelakunya. Sebuah laku yang lahir dari niat baik dan ditujukan bagi kebaikan bersama.

Sudah saatnya tawaran dan gagasan tentang upaya menjemput masa depan bangsa yang gemilang menjadi kesadaran bersama seluruh warga dan agenda utama pesta demokrasi lima tahunan. Sudahi praktik politik yang berangkat dari rasa benci dan permusuhan. Berbeda dukungan dan pilihan adalah bagian dari perbedaan yang harus kita rayakan bersama. Inilah saatnya kita ucapkan selamat datang politik kebhinekaan.

Willy Aditya, Politisi Partai NasDem