Saya termasuk yang tidak pilih-pilih penerbangan. Apa saja. Yang penting tujuan tercapai.
Untuk Jakarta-Surabaya banyak pilihan. Dari 10 kali terbang, sekitar 6 kali Pelita, 2 kali Citilink, 1 kali Garuda, 1 kali Superjet atau Batik Air.
Semua itu terutama karena kecocokan waktu semata. Ditambah citra mana yang lebih tepat waktu.
Dari segi kemudahan move on naik Batik atau SuperJet sebenarnya lebih ok.
Di terminal 2 Cengkareng jarak gate ke pintu keluar lebih dekat. Mobil penjemputan juga lebih di depan mata.
Sedang naik Pelita atau Citilink harus turun/naik di terminal 3. Citilink pasti dapat gate di atas nomor 21. Jalan kakinya bisa 15 menit.
Pelita, yang awal-awal di gate ''nomor kecil'' belakangan juga pindah ke nomor lailatul qadar. Jauh sekali.
Bacalah salawat Nabi dari gate 27 ke penjemputan di East Loby: bisa lebih 600 kali. Melebihi bacaan salawat Anda di wirid lima waktu salat.
Atau niatkan olahraga jalan cepat: bisa 100 kalori.
Jangan sampai hanya jalan lambat sambil melamun: Anda hanya dapat lelah, kehilangan waktu dan akhirnya ngomel dalam hati.
Terminal 3 memang sangat besar. Kadang membuat bangga. Kadang seperti sauna –kalau musim kemarau antara jam 12.00 sampai 14.00. Dinding kacanya yang masif jadi pengantar sinar matahari tropis.
Yang paling simpel sebenarnya naik-turun di Halim Perdanakusuma. Sayang penampilan terminal Halim Anda sudah tahu: seperti Indonesia di tahun 1975. Kini kalah jauh dari stasiun kereta Whoosh.
Kalau naik dan turun di Halim, pilihan saya hanya dua: Citilink 7 kali, Batik 3 kali. Tidak ada Pelita di Halim.
Pun jurusan luar negeri. Saya tidak pilih-pilih. Pernah sering naik Emirate atau Qatar. Itu semata karena jenis pesawatnya: 380. Waktu itu belum banyak penerbangan yang memilikinya.
Kelas bisnis Emirate benar-benar mewah. Tak terbayang first class-nya.
Ke Hong Kong terakhir, bulan lalu –untuk lanjut ke Meizhou– saya pilih Garuda. Lapang. Nyaman. Hanya dua penumpang yang di kelas bisnis. Makanannya enak. Cocok dengan selera.
Sebenarnya saya naik Garuda semata karena ingin tahu seragam baru pramugarinya. Yang lebih modern dan glamour.
Saya baru melihat di videonya. Saya penasaran: apakah kenyataannya sebagus di video itu.
Ternyata pramugari Garuda masih pakai seragam lama. Seragam yang sekarang memang sudah dipakai sekitar 20 tahun. Tidak pernah ganti lagi.
Tapi saya salut dengan perancangnya dulu. Seragam itu tidak terasa ketinggalan zaman. Abadi. Memperkuat brand Garuda. Juga lebih cocok sebagai seragam di penerbangan.
Sedang seragam baru, kesan saya, seperti lebih cocok untuk pakaian ke pesta.
Mungkin saja itu memang lebih baik. Mungkin dimaksudkan untuk menaikkan status kelas Garuda.
Karena itu saya ingin lihat benar: apakah pramugari tetap bisa bekerja cekatan dengan seragam baru.
Selasa kemarin saya masuk lounge kelas bisnis Garuda di Cengkareng.
Saya lihat lagi dinding koridornya. Ada foto besar parade seragam pramugari Garuda. Sejak seragam pertama tahun 1940-an sampai seragam terakhir.
Saya cari pandang: mana seragam terbaru. Belum dipajang.
Saya pun curiga jangan-jangan dibatalkan. Kok sudah lebih tiga bulan belum direalisasikan.
Padahal bisa saja seragam baru itu tetap dipakai di hari-hari besar. Atau justru jangan: agar tidak merusak image positif yang sudah terbentuk. Toh seragam pramugari Singapore Airlines juga tidak pernah berubah –sudah lebih 30 tahun.
Di lounge kelas bisnis Garuda itu saya melihat sekilas: Garuda lagi melakukan penghematan besar-besaran. Pilihan makanannya sangat terbatas –dibanding dulu.
Pilihan bahan makanannya pun terasa pilihan penghematan. Ada pipilan jagung di saladnya, tapi jagung manis yang keras. Roti-rotinya pun bernilai 6,5 –bukan roti sekelas hotel bintang lima.
Tentu tidak ada masalah. Toh beberapa penerbangan asing percaya: mereka menitipkan penumpang bisnisnya di lounge Garuda.
Pagi itu saya termasuk penumpang titipan itu. Yang titip: All Nippon Airways. Jurusan Tokyo-Haneda.
ANA memang bersama Garuda di rute itu. Bayangkan sepinya lounge itu kalau tidak dipasarkan untuk penumpang titipan. (Dahlan Iskan)