Tercekik Bonus Demografi
Foto: Ilham Pradipta M.

Oleh: Jan Mealino Ekklesia, Peneliti Sosial-Politik

Pandora Box! Istilah itu terbesit dalam pikiran sesaat setelah membaca hal-hal tentang masa depan Indonesia, lebih tepatnya, tentang bonus demografi.

Tidak ada yang salah dengan ambisi bonus demografi atau Indonesia 2045. Namun, ambisi tersebut perlu diiringi dengan pertanyaan kritis: bagaimana jika gagal?

Harapannya, ekonomi Indonesia diprediksi menjadi salah satu dari lima ekonomi teratas dunia tahun 2050. Tenaga kerja di Indonesia mencapai lebih dari 70% usia produktif (15-64 tahun) tahun 2045. Secara menakjubkan Indonesia menjadi leading sector dalam bidang maritim dan agraria. Sekali lagi, itu harapan.

Harapan dapat menjadi apa saja, seagung apapun, tanpa ada batas. Masalah muncul kemudian, bagaimana jika harapan-harapan tersebut gagal? Apakah ada ancaman baru jika Indonesia gagal mengelola bonus demografi?

Linglung Peluang

Per Juli 2023, Indonesia berhasil keluar dari jerat middle income trap menjadi upper middle-income country (UMIC). Berkat kenaikan itu, daya tawar dan investasi Indonesia menjadi lebih baik di mata dunia. Indonesia memiliki kedudukan yang sama dengan Malaysia, Argentina, Brazil, dan Thailand.

Namun, angka kemiskinan dan ketimpangan Indonesia tidak boleh luput dalam pandangan. Per September 2023, angka kemiskinan Indonesia masih stagnan terhadap tahun-tahun sebelumnya, yaitu 26,36 juta orang (9.57%). Sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan, yakni sebesar 14,38 juta orang (12.36%) pada tahun 2022, sementara perkotaan sebesar 11,98 juta orang (7.53%). 

Parahnya, Bank Dunia menyebutkan per 2022, jumlah masyarakat miskin Indonesia justru menyentuh angka 44 juta. Lebih mencengangkan, Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) SMERU menyebutkan bahwa ada sekitar 78 juta orang Indonesia termasuk kategori rentan miskin. Tentu peremajaan metodologi dan perbaikan penelitian menjadi urgensi besar.

Di sisi lain, Indeks kebahagiaan dan indeks kesejahteraan Indonesia jauh dari cita-cita. Berdasarkan World Happiness Report 2023, Indonesia menempati peringkat 84 dari 137 negara. Angka ini jauh di bawah Singapura (peringkat 25 dunia) dan Malaysia (peringkat 55 dunia), serta hanya lebih tinggi dari Laos, Kamboja, dan Myanmar. 

Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia tahun 2023 hanya menduduki peringkat 6 di ASEAN (0.713), jauh di bawah Brunei (0.823), Malaysia (0.807), dan Thailand (0.803).

Di bidang pendidikan, Programme for International Stundent Assessment (PISA) Indonesia tahun 2022 menunjukkan angka menyedihkan. Indonesia hanya menempati urutan 69 (dari 81 negara) dengan skor: matematika (366), sains (383), dan literasi (359). Sederhananya, rata-rata siswa Indonesia berumur 15 tahun hanya dapat menguasai matematika level 2 sebesar 18%. 82% sisanya bahkan tidak terdeteksi.

Sebagai pembanding, negara yang menduduki tingkat teratas ekonomi Asia, memiliki kemampuan matematika level 5 dan 6, meliputi Singapura (41%), Taiwan (32%), Makau (29%), Hong Kong (27%), Jepang (23%), dan Korea Selatan (23%).

Benar-Benar Merdeka

Bonus demografi sebagai jargon penyemangat harus dimaknai dengan rendah hati. Apakah Indonesia bergerak maju tanpa ada fondasi, seperti prajurit yang lalai membawa senjatanya ke medan perang?

Apabila Indonesia gagal mengelola bonus demografi di masa yang akan datang, maka efek kegagalan akan bermultiplikasi menjadi bom waktu. Kemiskinan ekstrem merajalela, defisit anggaran negara, lemahnya ekonomi, rendahnya kualitas pembangunan di masa depan, dan lain-lain.

Gagalnya Indonesia membangun kualitas manusia sama dengan gagalnya membangun Indonesia. Cita-cita membangun indonesia melalui kualitas generasi kiwari ini hendaknya segera dilakukan.

Perlu keseriusan pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, kita dapat menghindari pelik-gelapnya Pandora Box bernama bonus demografi pada masa yang dinanti itu.