Urgensi Penguatan Diksi

Oleh: Abdul Muqit

(Dosen Prodi Bahasa Inggris Polinema Malang)

Dalam perspektif  linguistika,  kata "cedas" vs "pintar" tidak memiliki arti yang berbeda secara signifikan. Keduanya sama dan dapat dipakai secara selang- seling dan bergantian. Namun, dari aspek sosiologis tentunya kedua kata tersebut amat berbeda jauh. Kecerdasan/cerdas yg dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan istilah "smart". Diksi ini mengacu kepada kecakapan inherent dan praktikal seseorang dalam menjalani hidup.

Dengan diksi tersebut, seseorang siap menghadapi hidup yg selalu berubah dalam setiap detik. Perubahan yg terkadang membawa dampak yg signifikan dalam lingkup pribadi, sosial dan masyarakat. Orang yg cerdas selalu siap segalanya. Para orang tua tidak perlu kawatir dengan anaknya yang cerdas karena mereka pasti memiliki daya survival yg mumpuni.

Sebaliknya, orang yg pintar dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan istilah clever.  Istilah ini , clever, dalam konteks sosiologisnya mengacu kepada kepintaran akademik seseorang. Secara akademik, orang pintar pastinya okay banget, namun dalam aspek sosialnya kurang sekali. Orang dengan kategori ini akan mengalami kesulitan yg berat bilamana berhadapan dengan perkembangan zaman dan  lingkungan yg begitu cepat berubah secara  massive.

Para orang tua perlu kawatir dengan nasib anaknya yg tergolong dalam kelompok ini, karena dia tidak akan memiliki daya survival yang mumpuni dan akan mengalami kesulitan dalam melakukan adaptasi langsung. Nah kalau ditarik ke dalam dunia pendidikan kita, yg manakah arah dunia pendidikan kita yang menjadi domain  target-nya? Tulisan ini akan membahas kedua diksi dalam perspektif edukasi kita secara keseluruhan dalam konteks pendidikan nasional.

Secara nasional, pendikan kita tidak memiliki landasan pasti. Itu.menurut pandangan Prof. Dr. Made Pidarta, ahli kependidikan Unesa Surabaya. Menurutnya, masalah ini dapat dilihat dalam kurikulum yg telah berjalan sepanjang Republik Indonesia berdiri. Indikatornya adalah bahwa setiap presiden dan menterinya berganti, maka kurikulumnya pasti berganti. Semestinya, lanjutnya, kurikulum berganti berdasarkan perkembangan zaman dan kebutuhan para siswqa dan stake-holder yang membutuhkannya.-Logika Prof Made Pidarta tampaknya benar juga adanya.

Namun demikian, perlu  dilihat dan dicermati  dalam perspektif yg lebih luas dan dalam. Dalam perspektif ini, pandanmgan tersebut  analis yang lebih komprehensive. Kenapa demikian? Menurut pendapat beberapa pakar nasional,  kita sudah memilki landasan kependidikan/pendidikan yg amat bagus dan sangat keren. Landasannya  termaktub dalam lagi Indonesia Raya secara langsung yg selalu dinyanyikan setiap upacara bendera. Jelasnya, landasan tersebut terletak pada frasa "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya".

Kemudian dalam UUD 1935 termaktub dalam pasal 31 ayat 3 disebutkan bahwa  pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang dan ayat (5) yang menyatakan bahwa Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Pada pasal 31 ini, titik berat pada pendidikan nasional adalah terciptanya keimanan dan ketakwaan dan mencerdaskan kehidupan dan ayat 5 fokusnya menjunjung tinggi nilai-nilai agama, persatuan dan kemajuan peradaban dan kesejahteraan. Nah yg menjadi landasan kependidikan nasional adalah non fisik dalam hal ini adalah memabngun Jiwa dan karakter manusia Indonesia. bukan terletak pada pembangunan fisik. Jadi jelasnya pandangan bahwa pendidikan kita tidak memiliki landasan kurang tepat.

Nah, sesuatu yg bersifat non-fisik merupakan orientasi semua infrastruktur pendidikan yang ada.  Kembali ke diksi penggunaan dua istilah di atas, cerdas  dan pintar, seharusnya menjadi filologi umum tujuan pendidikan dan kependidikan kita sebagai bangsa yg berdaulat demi mencapai keadilan dan kesejahteraan bangsa. Bilamana konsep ini terealisir, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang cerdas dan sejahtera. Namun demikian, selama ini kita hanya pinter tidak cerdas.

Re-Orientasi Pendidikan Nasional Kita

Sesuai denagn amanah konstitusi kita, UUD 1945, sewajarkan pendidikan nasional melakukan reorientasi. Hal ini dikatakan demikian, karena pendidikan kita amat jauh dari UUD 1945 yang mana ending process pendidikan kita adalah tercipatanya masyarakat ynag adil dan makmur serta berdaya guna dan fungsionalis. Kalau dilihat prestasi pendidikan kita amat sangat tragis. Misalnya, dilihat dari segi literasi saja, Indonesia berada di urutan ke 69 dari 70 negara yang dianalisis dalam tingkat literasinya. Kemudian tingkat lapangan kerja kita sangat terbatas dengan berbagai lasan secara politik dan ekonominya. Kemudian, tingkat korupsinya, kita Indonesia memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara.

Suasana seperti di atas merupakan akibat dari sistem pendidikan nasional yang salah orientasi. Orientasinya adalah menjadi mansyarakat yang pintar dan dapat bersaing dengan negara lain. Nah jika pintar saja tidak menjamin tercapainya kemakmuran, kesejahteraan, penegembangan jati diri bangsa dan harga diri bangsa. Seharusnya reorientasinya adalah mencipatakan masyarakat Indonesia yang cerdas yang ber-implikasi terhadap kesejateraan, kemandirian, keadailan, jati diri dan bangsa yang berkarakter. Inilah yang masih banyak diolupakan para pemerhati pendidikan kita ynag ;laksana kupu-kupu kertas.

Deviasi Pendidikan Nasional Kita

Pendidikan nasional yang kita miliki perlu kita mensyukurinya, akrena dengan pendidikan kita dapat mendorong kita sebagai warga memiliki rasa optimistis dan menjadi sejahtera ke depannya. Disamping ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pemerintah, maka kita perlu juga mengkritisi kebijakan-kebijkan dalam sistim pendidikan nasional. Antara lain; Pertama, pembentukan zonasi dalam mengikuti pendidikan dasar perlu dikritisi. Banyak kelurahan yang muincul di masyarakat denagn diberlakukannya sistem zonani.

Mulai dari kesulitannya orang tua mencarikan sekolah yang pas buat anaknya. Nah, dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Ini tidak peduli siapapun jauh-dekat, miskin-kaya, pintar-tidk pintar tetap wajib mendapatkan pendidikan sesuat amanat UUD 1945. Faktanya tidak. Masih banyak yang belum mendapatkan manfaat pendidikan khusunya anak bangsa di luar pulau Jawa.

Kedua, bahwa pemerintah membiayai pendidikan nasional denagn tidak menyebutkan dikotomi negeri dan swasta. Mestinya, semuanya diperlakukan sama. Pemerintah wajib mengayomi dari segi pembiayaan, kelengkapan dan perhatian semuanya. Sekolah swasta dengan beragam format-nya amat sangat mendukung pemerintah dalam pemerataan pendidikan. Fakta kontradiksi dengan apa yang terjadi di lapangan.

Ketiga, pendidikan seharusnya berorientasi pada pembentuksan kaarakter bangsa. Pada ayat 3 disebutkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Keempat, ayat di atas pada UUD 1945 menggarisbawahi bahwa target pendidikan nasional adalah terciptanya peningkatan keimanan dan ketakwaan dan ahlaq mulia untuk mencerdaskan kehidupan bernegara. Kenyataanya, bahwa terdapat banyak pendidikan yang mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih fatalnya lagi sekolah atau jurusan yang mengedepankan akhlaqul karimah terpinggirkan dan kurang diperhatikan. Bahkan dianggap kuno. Padahal, sejatinya, akhlaq mulia membawa kepada kecerdasan. Bahkan yang menjadi simbol dan logo nasional adalah sekolah yang bikin melek teknologi. Kemana intisari ayat pasal tersebut.

Kelima, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenihi kebutuhan penyelengaraan pendidikan nasional. Pada ayat ini jelas sekali adanya deviasi absolut. Dinama khusus pendidikan tinggi tak ada bantuan sama sekali dari pemerintah denagn adanya Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PT BNBH) dan Badan Layanan Umum (BLU). Sepertinya  penyelenggara negara abai akan hal ini. Kalau kita cermjati UUD 1945 mengamanhi pemerintah untuk mengalokasikan 20% dari anggaran negara untuk pendidikan.

Beberapa deviasi yang disebutkan sebelumnya, berimplikasi  pada beberapa hal tersebut di bawah ini, antara lain berkurangnya kemajuan negara kita dari aspek pendidikan dan pembangunan, karakter bangsa lama-lama akan hilang dan memudarnya jati diri bangsa, pendidikan yang tidak memiliki nilai autentik dan naturalis yang sesuai dengan cita-cita bangsa bangsa Indonesia, banyak korupsi, koruptor yang berlagak tidak berdosa denagn alibi demi memajukan bangsa dan negara dan bangsa yang kurang mandiri karena mengedepankan pintar dari pada cerdas

Semoga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan bermartabat, Aamiin.