
Ketua DPR RI Puan Maharani | Foto: istimewa
JAKARTA - Ketua DPR RI Puan Maharani menghadiri forum MIKTA Speakers' Consultation ke-11 tahun 2025 di Seoul, Korea Selatan. Pada kesempatan itu, Puan menyinggung soal isu perdamaian dunia termasuk untuk Palestina dan Sudan. Adapun 11th MIKTA Speakers' Consultation atau Forum Konsultasi Ketua Parlemen MIKTA ke-11 digelar di Seoul di mana tahun ini Korea Selatan bertindak sebagai tuan rumah, Rabu (12/11/2025).
"Izinkan saya memulai dengan menyadari betapa beratnya momen ini. Di sekitar kita, persaingan antarnegara adidaya semakin meningkat, penggunaan kekuatan menjadi hal yang normal, dan ruang untuk menahan diri semakin rapuh," kata Puan saat menyampaikan speech pada sesi I.
Puan lantas menyinggung masalah kemanusiaan yang berlangsung lama di Palestina, hingga konflik Sudan yang baru-baru ini terjadi. "Dalam situasi ini, konsekuensi kemanusiaan di Palestina, Ukraina, Sudan, Yaman, dan di belahan dunia lainnya bukanlah berita yang jauh dari topik utama, tetapi menuntut kita untuk segera mengambil langkah nyata dan menyelesaikannya," ungkap Puan.
Di Semenanjung Korea, Puan menyebut tantangannya berbeda yakni berkenaan dengan risiko eskalasi, bukan jumlah korban. Ia menilai, anggota MIKTA harus memperkuat manajemen krisis dan membangun kepercayaan.
"Realitas ini mengingatkan kita bahwa insting pertama kita haruslah de-eskalasi dan dialog yang kredibel, bukan upaya terakhir yang diambil terlambat," tutur Puan.
Ditambahkannya, Parlemen bukanlah pengamat dalam pembangunan perdamaian. Menurut Puan, parlemen mengubah komitmen menjadi undang-undang, anggaran, dan pengawasan yang membuat perdamaian langgeng.
"Peran kita adalah memastikan mandat dan sumber daya selaras dengan kenyataan di lapangan, bukan pola yang dipaksakan dari jauh," jelas Puan.
Dalam aspek pembangunan perdamaian atau peace building, Puan menekankan bahwa inklusi harus dibangun sejak awal. Komunitas lokal, perempuan, dan pemuda disebut harus membantu merancang, mengimplementasikan, dan meninjau program-program pembangunan perdamaian.
Selain itu, Puan menilai rancangan pendanaan juga penting termasuk penganggaran jangka panjang dan inklusif sebagai investasi dalam ketahanan, yang memungkinkan lembaga-lembaga untuk menahan guncangan.
"Upaya-upaya ini harus berlabuh pada keutamaan sistem multilateral dan penghormatan terhadap hukum internasional. PBB tetap menjadi pusat arsitektur pembangunan perdamaian global, dan parlemen kita harus memperkuat perannya melalui undang-undang dan kontribusi berkelanjutan terhadap sistem ini," lanjut Puan.
Puan pun mengingatkan, bantuan kemanusiaan harus menghormati netralitas, imparsialitas, dan tetap bebas dari agenda politik, ekonomi, atau militer. Menurut Puan, bantuan juga harus dipandu oleh penilaian yang independen dan berbasis kebutuhan serta disetujui oleh negara yang terdampak, dengan sepenuhnya menghormati kedaulatan dan integritas teritorial.
"Terakhir, parlemen MIKTA harus bertindak bersama. Kita harus mengadvokasi akses tanpa hambatan dan pengiriman yang tidak selektif, sambil menolak persenjataan bantuan. Sebagai lembaga legislatif, kita harus mengubah komitmen ini menjadi tindakan, melalui pengawasan yang lebih kuat, akuntabilitas yang jelas, dan pendanaan yang dapat diprediksi yang memastikan diplomasi kita diterjemahkan menjadi perlindungan dan pemulihan di lapangan," tutup Puan.
Info Detak.co | Rabu, 12 November 2025 
