Target Lifting Meleset, Kejati Tidak Pernah Serius Usut Dugaan Penyimpangan di Pertamina!
Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan, saat mengikuti Kunjungan spesifik Tim Komisi III dengan Kapolda Riau dan Kejati Riau, Pekanbaru, Riau, Sabtu, (22/02/2025). Foto: Ulfi/vel

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan, menyoroti kinerja Kejaksaan Tinggi (Kejati), khususnya yang ada di Pekanbaru, Riau, terkait pengawasan terhadap aktivitas Pertamina.

Menurutnya, selama tiga hingga empat tahun terakhir, Kejati tidak pernah menyentuh perusahaan energi milik negara tersebut, meskipun banyak permasalahan terjadi di dalamnya.

"Mulai dari pengadaan kecil hingga proyek bernilai puluhan triliun rupiah, termasuk pengadaan rig dan geomembran yang menampung limbah, banyak laporan dari masyarakat yang kami terima. Namun, belum ada langkah konkret dari Kejati dalam mengusut dugaan penyimpangan ini," ujar Hinca dalam Kunjungan spesifik Tim Komisi III dengan Kapolda Riau dan Kejati Riau, Pekanbaru, Riau, Sabtu, (22/02/2025).

Hinca menegaskan bahwa evaluasi yang dilakukan terhadap Kejati bertujuan untuk memastikan bahwa Pertamina dapat berkontribusi maksimal dalam mencapai swasembada energi yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

Saat ini, Indonesia mengeluarkan sekitar Rp1,6 triliun per hari untuk mengimpor Bahan Bakar Minyak (BBM). Jika Pertamina dapat meningkatkan produksi, ketergantungan terhadap impor dapat dikurangi secara signifikan.

Ia juga menyinggung target lifting minyak yang ditetapkan Presiden Joko Widodo untuk Pertamina Hulu Rokan sebesar 200 ribu barel per hari (bph).

Namun, realisasi produksi justru turun hingga 120 ribu bph. Menurutnya, ketidaktercapaian target ini mengindikasikan adanya permasalahan dalam perencanaan, tender, dan pelaksanaan proyek.

"Di sinilah seharusnya Kejaksaan berperan. Karena ini menyangkut uang negara, kejaksaan harus turun tangan dan mengusut dugaan penyimpangan. Saya bahkan sudah menyerahkan dokumen laporan masyarakat kepada Kejati, namun justru dinyatakan sebagai pendampingan proyek strategis. Jika proyek strategis tidak boleh disentuh, bagaimana mungkin ada transparansi dan akuntabilitas?!" tegasnya.

Lebih lanjut, ia juga menyoroti penggeledahan yang dilakukan Kejaksaan Agung pada Desember lalu terkait dugaan korupsi impor BBM di Pertamina. Temuan ini menunjukkan bahwa dugaan penyimpangan yang telah diungkap sejak beberapa tahun lalu memang benar adanya.

Ia juga menekankan pentingnya pengawasan terhadap Pertamina, yang memiliki lebih dari 200 anak perusahaan, agar tidak menjadi "negara dalam negara".

Menurutnya, Pertamina saat ini ibarat kapal Titanic yang tengah menuju kehancuran jika tidak segera diselamatkan.

Dalam rangka memastikan penegakan hukum di sektor energi, Komisi III DPR RI membentuk Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Penegakan Hukum Sumber Daya Alam. Salah satu fokusnya adalah praktik pengeboran ilegal oleh masyarakat.

Hinca menilai bahwa masyarakat yang mengebor minyak secara mandiri tidak dapat sepenuhnya disalahkan karena mereka hanya memanfaatkan sumber daya yang ada.

"Aparat penegak hukum seharusnya mengawasi dan memastikan minyak hasil pengeboran rakyat ini dibeli oleh Pertamina sehingga bisa menambah lifting minyak nasional. Jangan justru masyarakat yang ditekan, sementara Pertamina yang legal tetapi menjalankan praktik yang ilegal dibiarkan," ungkapnya.

Hinca mengajak seluruh aparat penegak hukum untuk bekerja maksimal dalam mengawasi Pertamina dan menindak tegas segala bentuk penyimpangan.

Menurutnya, jika pengawasan dilakukan dengan baik, kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai 40 persen atau sekitar Rp1.000 triliun dapat ditekan.

"Kami sebagai mitra dari aparat penegak hukum akan terus mengevaluasi kinerja mereka. Kejati dan aparat lainnya harus bekerja dengan benar, karena menyelamatkan Pertamina berarti menyelamatkan Indonesia dari krisis energi. Jika tidak, kita akan terus menjadi negara yang bergantung pada impor dan kehilangan kedaulatan energi," pungkasnya.