Andai Anies Seorang Larry Holmes

Oleh Agus Wahid

Sempat menggemparkan dunia tinju. Itulah perebutan sabuk juara WBC antara Muhammad Ali versus penantangnya: Larry Holmes pada 2 Oktober 1980. Ali yang kelahiran 17 Januari 1942 berhadapan dengan Larry Holmes, kelahiran 3 November 1949. Terpaut sekitar 7 tahun lebih muda dibanding Muhammad Ali.

Bisa dibayangkan di ring tinju. Ali yang sudah makin menua dan sudah menderita penyakit parkinson menjadi bulan-bulanan Holmes yang masih full of power.  Tergolong lagi masa puncak kekuatannya. Dan sejarah mencatat, tidak sampai ronde terakhir yang direncanakan, tim Ali harus melemparkan handuk. Pertanda Ali harus menyerah.

Yang menarik untuk dicatat, kemenangan Larry justru menuai kritik tajam dari para penggemar tinju di seantero Amerika. Larry dinilai tidak sepantasnya menghajar Ali sebegitu sadisnya, padahal mantan sparing partnernya. Sementara, penyakit yang telah dideritanya mengakibatkan – secara medis –  Ali tak layak lagi manggung dalam ring tinju.

Lalu, apa relavansi dan korelasi Larry Holmes dengan Anies Baswedan? Ada dan layak kita telaah lebih jauh. Kita tahu, dalam pilkada Jawa Barat, terdapat nama Achmad Syeichu (AS), Presiden PKS yang maju sebagai calon gubernur Jawa Barat.

Andai, Anies Baswedan menerima tawaran sebagian permintaan masyarakat Jawa Barat, termasuk Ketua DPW PDIP, Ono Surono, maka Anies berpotensi akan dikritik habis oleh para kader PKS, bahkan kalangan lain.

Why? Karena – di atas kertas – Anies sangat mudah memenangkan kontestasi pilkada di Jawa Barat itu. Kemenangan Anies bukan hanya disesalkan, tapi justru membikin kemarahan masyarakat kader PKS. Masyarakat non PKS pun berpotensi menyesalkan atas sukses Anies dalam pilkada Jabar.

Landasannya? Publik tahu, Anies jauh di atas level AS. Daya magnetnya jauh lebih besar dibanding AS. Mengapa Anies harus maju pada pilkada Jabar, padahal catatan sebelumnya adalah sahabat seperjuangan, dalam pilpres 2024 lalu, atau – setidaknya pada pilkada Jakarta 2017, meski saat itu AS bukanlah presiden partai yang notabene partai dakwah dan penjunjung tinggi akhlak (moral).

Keunggulan komparatif-kompetitif Anies itulah yang memang tidak sepantasnya dikontestasikan bahkan diperhadapkan secara vis a vis dalam satu wadah (ring, arena atau wilayah) yang sama. Karena, hasilnya sangat terbuka kemungkinan AS akan kalah telak.

Hanyalah pemikiran asumtif? Memang ya. Tapi, kita bisa menggunakan asumsi data, yang bisa dizoom lebih mendekati kata obyektif. Berdasarkan data data BPS, se Jawa Barat hanyalah ada 627 kecamatan, atau 5.957 desa/kelurahan.

Jika pendekatan kader (pengurus struktural dan jamaahnya) sebanyak 1000 orang per kecamatan, maka jumlahnya hanyalah 627.000 kader per kecamatan. Atau, jika diasumsikan ada 100 kader dan jamaah binaannya per desa/kelurahan, maka jumlah totalnya hanya 595.700 orang.

Muncul pertanyaan, mengapa – dalam pemilihan legislatif 2024 lalu – PKS meraih 3.801.216 suara? Tak bisa disangkal, data tersebut menunjukkan sinyal positif tentang adanya efek elektoral Anies terhadap PKS dalam pilpres kemarin. Cocktail effect ini tak bisa dipungkiri. Maka, sungguh tergolong congkak ketika di antara ekitis PKS menyatakan Anies tak memberikan pengaruh (suara) bagi PKS. Ia atau mereka telah tertutup mata atau hatinya ketika melihat realitas obyektif.

Efek elektoral tersebut cukup menggambarkan adanya lompatan suara PKS non-kader. Kita perlu mencatat dan bisa meyakini, suara PKS non-kader ini kemungkinan besar lebih tertarik untuk memilih Anies dibanding AS. Sikap politik kaum politik non-kader ini juga akan terjadi pada barisan NasDem, PKB, bahkan PDIP. Mereka akan lebih tertarik ke Anies karena faktor kekecewaan yang baru saja dirasakan, di samping sejumah keunggulan Anies itu sendiri.

Jadi, di atas kertas, andai Anies mau ikut pilkada di Jawa Barat, maka suara AS akan tergerus. Maksimal hanya diplih oleh kalangan kadernya yang notabene militan, padahal hanya merupakan sikap “sami`na wa atha`na”. Sendiko dawuh. Tak ubahnya robot.

Anies bukanlah tipologi pemimpin haus kekuasaan dan pengejar jabatan, apalagi politisi pendompleng. Jika dia bertipologi seperti kaum politisi pada umumnya, maka peluang yang ada di Jawa Barat langsung “disambar”. Dan – insya Allah – kemenangan di depan mata.

Tapi, Anies justru melihat dan mengingat sisi lain yang jauh lebih esensial secara kemanusiaan. Tanpa menyebut nama, Anies sampaikan, “Di Jabar sudah ada sahabat seperjuangan. Tidaklah etis maju di arena yang sama”, sebut Anies dalam Mata Najwa.

Itulah akhlak Anies. Andaikan Anies seorang Larry Holmes, pasti akan turun ke laga pilkada Jabar. Pasti nampu “menghajar” lawan politiknya. Dan Anies pun akan tampil sebagai pemenang mutlak. Persis yang diraih Larry Holmes. Namun demikian, kemenangan itu menuai kritik tajam. Sungguh tidak elok dan tidak etis, bahkan paradoks dengan pribadi yang berakhlak mulia.

Itulah sebabnya, Anies tak bersedia maju ke pilkada Jawa Barat. Sadar dampaknya tidak menentreamkan bagi dirinya, dan merusak persahabatan yang telah terbangun jauh sebelumnya. Dampak itu akan terus menggores luka. Boleh jadi cukup dalam.

Bagi Anies, persoalannya bukanlah masalah personal. Ada hal yang jauh lebih substansial. Yaitu, Anies dan AS atau keluarga besar PKS adalah satuan umat yang harus dijaga keutuhannya untuk membangun negeri ini Bersama-sama. Biarlah dirinya dikhianati. Berserah diri kepada sang Maha Adil. Pasti ada rahasia ilahi yang tak bisa ditangkap oleh manusia biasa. Karenanya, Anies tampak senyum saja menerima perlakuan yang tidak semestinya itu.

Bekasi, 08 September 2024
Penulis: Analis Politik