Anies Baswedan: Narasi Gerakan Warisan Founding Fathers Harus Dihidupkan Kembali

JAKARTA – Narasi adalah fondasi penting dalam perjalanan sebuah bangsa. Bagi Anies Baswedan, narasi bukanlah klaim kebenaran, melainkan ruang untuk kritik, dialog, dan perubahan.

“Negara memiliki rencana yang diartikulasikan, dan di situ dibuka ruang untuk dialog,” kata Anies dalam acara peluncuran buku *Anies Baswedan: Buku, Film, Kopi, Bola, Cerita Lainnya, yang disiarkan kanal YouTube Refly Harun dikutip Kamis, 21 November 2024. Acara ini digelar di Aula PDS HB Jassin, TIM Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat.

Anies menyoroti warisan para pendiri republik yang mendasarkan perjuangan mereka pada narasi gerakan. Pendekatan ini, menurutnya, melampaui sekadar menyelesaikan masalah. “Narasi gerakan berarti tidak hanya menyelesaikan masalah, tetapi juga mengajak semua orang untuk bersama-sama menyelesaikan masalah,” ungkapnya.

Narasi Gerakan vs Pendekatan Programatik

Anies menjelaskan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, banyak negara, terutama yang baru merdeka, menggunakan pendekatan programatik. Dalam pendekatan ini, negara menjadi aktor utama, sementara rakyat hanya berperan pasif—membayar pajak, memilih dalam pemilu, dan menonton hasil kerja negara.

Hal ini berbeda dengan pendekatan gerakan yang digagas oleh founding fathers. Di era awal kemerdekaan, para pendiri bangsa tidak hanya berusaha menyelesaikan masalah, tetapi juga melibatkan rakyat dalam setiap langkah perjuangan.

Anies mengingatkan bagaimana sulitnya situasi Indonesia saat baru merdeka. Saat itu, 95 persen rakyat Indonesia buta huruf. “Angkat senjata? Siap. Angkat bambu runcing? Siap. Tapi diberi kertas untuk menulis nama? Lalu bilang, ‘Maaf, saya tidak bisa.’ Itu sangat rumit,” katanya.

Namun, di tengah tantangan besar tersebut, Bung Karno dan Bung Hatta—tokoh intelektual dengan ribuan buku di tangannya—tidak menyerah. Mereka bekerja dengan pendekatan narasi gerakan untuk menjembatani kesenjangan intelektual antara pemimpin dan rakyat.

10 November: Kemenangan Semangat Gerakan

Pendekatan gerakan ini, kata Anies, terlihat nyata dalam peristiwa 10 November 1945. Pertempuran tiga minggu di Surabaya menjadi simbol keberanian rakyat Indonesia melawan Sekutu. Meski secara militer Indonesia kalah, semangat rakyat yang tidak pernah surut membuat Sekutu gentar.

“Sekutu awalnya berpikir perang selesai dalam dua hari. Tapi, tiga minggu kemudian, pertempuran terus berlangsung. Rakyat Indonesia tidak pernah menyerah. Setiap yang gugur, muncul lagi semangat baru,” ujar Anies.

Anies membandingkan situasi ini dengan Palestina yang terus mendapat simpati dunia meski secara militer kalah. Demikian pula, perlawanan rakyat Surabaya membangkitkan simpati internasional dan membuat Inggris pulang dengan rasa malu.

Bagi Anies, peristiwa 10 November bukan sekadar kisah perang. Ia adalah bukti bagaimana narasi gerakan dapat melibatkan seluruh rakyat dalam perjuangan. “Makna dari peristiwa itu adalah gerakan, bukan sekadar bagian dari program kenegaraan di bidang pertahanan,” tegasnya.

Narasi gerakan ini, menurut Anies, perlu dihidupkan kembali untuk membangkitkan keterlibatan rakyat dalam membangun bangsa. Karena, seperti yang dia yakini, narasi adalah kunci untuk melangkah maju, mengatasi tantangan, dan menciptakan perubahan nyata.