Kasus Tom Lembong, Apakah Wajar?

Akhir-akhir ini, media dihebohkan dengan berita penangkapan Thomas Trikasih Lembong atau yang lebih akrab disapa Tom Lembong. Tepatnya pada 29 Oktober 2024, Tom ditangkap dan dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) atas dugaan penyalahgunaan wewenang impor gula pada tahun 2015.

Hal ini tentu menimbulkan banyak tanda tanya sekaligus rasa skeptis yang besar dari masyarakat terhadap sistem peradilan di negeri ini. Bagaimana tidak, banyak yang menduga bahwa penangkapan Tom bukan murni atas dasar penegakan hukum, namun disinyalir sarat akan muatan politik yang mengatasnamakan penegakan hukum itu sendiri.

Sebagaimana yang masyarakat ketahui, nama Tom Lembong sendiri menjadi sorotan sejak ia memilih menjadi oposisi dan bergabung sebagai Co-Captain Tim Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) pada Pilpres 2024 yang lalu. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan (Mendag) pada 12 Agustus 2015 hingga 27 Juli 2016.

Oleh Kejagung, Tom dituduh menyalahgunakan wewenang untuk pemberian izin impor gula kristal (raw sugar) sebanyak 105.000 ribu ton kepada perusahaan swasta, PT AP, yang kemudian diolah menjadi gula kristal putih (gula konsumsi), pada tahun 2015. Anehnya, Kejagung menetapkan kasus yang hampir 10 tahun berlalu, sehingga terkesan seperti memaksa dan tergesa-gesa dalam bertindak. Jika membahas impor, idealnya semua Menteri yang melakukan impor gula hingga sekarang haruslah diperiksa, mengingat tidak hanya Tom saja yang melakukan impor. Terlebih jika dibandingkan, impor yang dilakukan oleh Tom tidak sebanyak menteri yang lainnya, atau hanya sekitar 3,1 persen dari total impor gula tahun 2015. Namun hal itu tidak dilakukan oleh Kejagung, yang pada akhirnya menimbulkan kesan “standar ganda” terhadap Tom sendiri.

Oleh karenanya, Tim Hukum Tom Lembong yang dipimpin oleh Ari Yusuf Famir melakukan gugatan Pra-Peradilan ke PN Jakarta Selatan pada Selasa (5/11). Yusuf Amir menyatakan bahwa terdapat banyak masalah dalam kasus ini, misalnya masalah yang berkaitan dengan UU Korupsi itu sendiri, dimana ia mengatakan “dalam pasal 2 dan pasal 3 UU Korupsi itu merupakan delik materiil, yang betul-betul harus dijelaskan secara limitative tentang actual loss kerugian negaranya. Nah, sampai saat ini kerugian negara yang dimaksud belum jelas. Katanya ada angka 400 miliar, temuan dari siapa? Bagaimana temuannya?, karena dalam putusan Mahkamah Konstitusi sudah dijelaskan, tidak boleh lagi dalam menyidik perkara korupsi disebutkan tentang potential loss, tidak boleh lagi, tapi harus actual loss, kerugian yang nyata”.

Lebih lanjut, berdasarkan pasal-pasal yang ada dalam UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), penetapan tersangka harus memenuhi empat unsur: (1) pelaku, baik individu atau korporasi, (2) adanya tindakan melawan hukum, (3) keuntungan bagi pelaku atau pihak lain, dan (4) kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara. Jika salah satu unsur ini tidak terpenuhi, maka proses hukum seharusnya dihentikan dengan SP3. Terlebih lagi sampai sekarang, pihak Kejagung sendiri belum bisa memberikan bukti apapun terutama terkait aliran dana yang masuk ke kantong Tom.

Di sisi lain, Yusuf juga mempermasalahkan soal proses penahanan Tom Lembong yang melanggar Perundang-undangan KUHP, khususnya pada pasal 55 dimana setiap terdakwa atau tersangka berhak memiliki penasehat hukum yang “ditunjuk sendiri”. Namun pada faktanya, Tom langsung ditahan tanpa diberikan kesempatan untuk menunjuk penasehat hukum sendiri dan langsung ditunjuk penasehat hukum yang berasal dari pihak kejaksaan. Yusuf menyampaikan bahwa ini adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi Tom.

Penahanan terhadap Tom Lembong yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan menjadikan ia sebagai tersangka adalah bentuk kriminalisasi terhadap figur oposisi. Terlebih lagi proses penahanan yang tidak sesuai prosedur sebenarnya adalah pencideraan terhadap sistem hukum negara ini. Padahal kita tahu bersama, Indonesia merupakan negara hukum yang mengacu pada keyakinan bahwa kekuasaan harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan tidak tebang pilih. Sekali lagi, Indonesia adalah negara berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan.

Oleh karenanya, penting untuk aparat penegak hukum melihat kasus Tom dengan mempertimbangkan asas kepastian dan keadilan hukum. Jika kebijakan yang dibuat oleh para pejabat dapat diperkarakan, tentu hal ini akan mampu menyasar ke siapapun yang menjadi policy maker dan berlaku bagi suatu kebijakan meskipun sudah bertahun lamanya dilakukan.

#tomlembong #paktom #gugatan

Chozin Amirullah, Kolumnis