Petahana Marak Lakukan Mutasi Jabatan Jelang Pilkada, Pakar Sebut Penyalahgunaan Wewenang
Dialog publik yang digelar Forum Kajian Demokrasi Kita (Fokad) dengan tema "Fenomena Kepala Daerah Incumbent Melakukan Mutasi Jabatan Menjelang Pilkada 2024: Telaah Terhadap Netralitas Birokrasi dan Implikasi pada Sistem Demokrasi", di Jakarta, Jumat (4/9

JAKARTA -  Menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024, mutasi jabatan di lingkungan pemerintahan daerah menjadi sorotan publik. Fenomena ini terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, di mana kepala daerah yang berstatus sebagai petahana (incumbent) melakukan mutasi, rotasi, dan pelantikan pejabat struktural dalam skala yang signifikan, meskipun masa jabatan mereka akan segera berakhir atau mereka akan mencalonkan diri kembali dalam Pilkada.

Menurut pengamat pemerintahan yang juga mantan Dirjen Otda Kemendagri, Djohermansyah Djohan, penggantian atau mutase pejabat jelang pilkada secara teori dan normatifnya tak bisa dilaukan, karena membahayakan tata Kelola pemerintah daerah.

“Praktik abuse of power para kepala daerah. Ada semacam penyalahgunaan wewenang yang cukup intens di kepala daerah, dan terjadi pembiaran oleh pusat terhadap para kepala daerah yang juga petahana,” katanya dalam dialog publik yang digelar Forum Kajian Demokrasi Kta (Fokad) dengan tema "Fenomena Kepala Daerah Incumbent Melakukan Mutasi Jabatan Menjelang Pilkada 2024: Telaah Terhadap Netralitas Birokrasi dan Implikasi pada Sistem Demokrasi", di The Bridge Function Room Hotel Horison Ultima Suites & Residence, Rasuna, Jakarta, Jumat (4/9/2024).

Sebagai contoh, salah satu Cagub Sulawesi Tengah (Sulteng) yang ditetapkan yaitu Hi. Rusdy Mastura selaku Gubernur yang mencalonkan diri kembali telah melakukan pelantikan/mutasi pejabat di lingkup pemerintah Provinsi Sulteng, pada 22 Maret 2024.

Pelantikan dan mutasi pejabat yang dilakukan petahana Hi. Rusdy Mastura disinyalir bertentangan dengan ketentuan Pasal 71 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

Mutasi pejabat juga dilakukan Renny A. Lamadjido selaku Wakil Walikota Palu yang mencalonkan diri sebagai Cawagub Provinsi Sulteng, Bersama-sama Hadiyanto Rasyid selaku Walikota Palu yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai Pemerintah Kota Palu telah melakukan pelantikan/mutasi pejabat di lingkup Pemerintah Kota Palu pada 22 Maret 2024.

Renny selaku Wakil Walikota Palu merupakan satu kesatuan dengan Walikota Palu selaku Pemerintah Kota Palu yang menjalankan pemerintahan di Kota Palu, di mana keduanya melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan secara Bersama-sama sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 3 Jo. Pasal 63 Jo Pasal 66 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah

Djohermansyah menegaskan,  petahana yang melakukan penyalahgunaan wewenang dengan memutasi pejabat untuk keuntungan dirinya bisa dibatalkan pencalonannya dan dikenai sanksi pemberhentian sebagai kepala daerah.

“Incumbent yang melakukan mutasi jabatan harusnya bisa dibatalkan pencalonannya, dan dikenai sanksi pemberhentian sebagai kepala daerah. Ini sesuai dengan ketentuan Putusan MA Nomor 570 tahun 2016 tentang Pilkada. Orang itu telah menyalahgunakan wewenang,” ujarnya.

Pendapat senada disampaikan ahli Hukum Tata Negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, yang juga hadir sebagai pembicara. Menurutnya, ada ancaman yang sangat tegas kalau ada incumbent yang melakukan mutasi seperti ini, dia bisa dibatalkan sebagai calon kepala daerah oleh KPU.

Hamdan mencontohkan, pada Pilakda 2009 waktu dia menjadi Ketua MK, banyak temuan hasil pilkada yang akhirnya dibatalkan. Hal tersebut karena petahana memanfaatkan jabatannya, memanfaatkan birokrasi, serta memanfaatkan kebijakannya untuk memenangkan dirinya.

“Kekuatan incumbent memiliki ruang besar untuk memanfaatkan jabatan, memanfaatkan birokrasi, memanfaatkan kebijakan, seperti bansos. Pernah bupati memutasi lebih dari 10 camat. Camat datang ke MK dan protes. MK memutuskan ini membahakan demokrasi, merusak demokrasi dengan mamanfaatkan jabatan untuk kepentingan dirinya,” kata Hamdan.